Babakanblog's Blog


Pedih
September 29, 2009, 9:31 am
Filed under: Peasantry

mbah-mangun

MEMILAH cabai dilakukan Mbah Mangun sebagai pekerjaan musiman di masa kemarau. Mereka adalah kalangan petani miskin penggarap tanah terlantar yang mengandalkan curah hujan sebagai sumber pengiran usaha tani.

——-

Kali ini suatu hari di pertengahan Ramadhan lalu. Matahari memang sudah tinggi. Dan ia nampak marah. Ini membuat jalan aspal kecil di perkampungan itu terlihat meleleh. Angin yang menghembus juga membawa laksana membawa api. Sementara peluh tak henti-hentinya menyeruak dari pori-pori. Yang pada akhirnya membuat mereka terus-terusan menyeka keringat di sekujur tubuh. Gerah sekali.

Namun Mbah Mangun [81] tak berhenti dari pekerjaannya. Ia dan puluhan warga lainnya, baik lelaki maupun perempuan; tua dan muda, terus menekuni cabai yang berserak di antara mereka. Cabai?

Ya. Di hari itu dan hari-hari sebelumnya, mereka bekerja paruh waktu untuk memilah cabai dan memotongi tangkainya. Cabai tersebut bukanlah hasil usaha pertanian mereka, melainkan didatangkan dari sentra produksi di Jawa Timur. Pada gilirannya, setelah dipilah dan dipotongi tangkainya, cabai tersebut diproses lebih lanjut menjadi saus dalam kemasan oleh pabrikan yang letaknya tak jauh dari situ.

“Dalam sehari bisa dapat dua ton cabai. Lumayan. Hasilnya nambah-nambah buat lebaran,” jelas Mbah Mangun. Ia dan para warga memisah-misahkan cabai yang segar berwarna merah menyala dengan cabai yang mulai membusuk atau kurang matang dan berwarna kehijauan. Selanjutnya, tangkai cabai dipotong dan dipisahkan dari badannya. Tiap kilogram dari hasil pekerjaan tersebut dihargai senilai Rp. 250,-. Sementara, produktivitas tiap orang rata-rata mencapai 50 kg per harinya. Rata-rata ia memperoleh penghasilan Rp. 12.500,- per harinya. Cukupkah?

Continue reading



Diancam Marabahaya
September 11, 2009, 7:36 am
Filed under: Peasantry

TANAH garapan kaum tani yang terancam land-grabbing PTPN IX [Persero] di Kab. Semarang, Jawa Tengah.

——-

Siang yang sangat terik di pertengahan bulan Agustus. Saat musim ketiga [baca : musim kemarau] datang. Beberapa orang dewasa berkerumun di tanah itu. Lima diantara mereka tengah memikul sebatang beton bercat putih dan merah di ujungnya. Sementara yang lainnya nampak menggali lubang. Beberapa menit kemudian beton telah ditancapkan di dalam lubang. Kira-kira setinggi 60 cm dari permukaan tanah, beton itu tegak berdiri persis memisahkan ladang singkong di sisi utara dan sungai kecil di sebelah selatannya.

“Beton itu adalah pal batas. [Pal batas] itu memisahkan antara tanah milik desa dengan tanah perkebunan,” jelas Magiyanto [39] saat ditanyai oleh beberapa petani penggarap kebun singkong. Jawaban Magiyanto memang sesuai dengan surat edaran yang diterimanya dari PT Perkebunan Nusantara [PTPN] IX [Persero] 20 Juni 2009 lalu. Tapi, sebagai seorang Kepala Dusun, penjelasannya kurang memenuhi rasa penasaran para petani.

Mereka adalah sebagian dari kaum tani miskin dan tani sedang bawah yang ‘kukruk’ [= menggarap tanah, bahasa Jawa] di areal sekitar beton pal batas. Pada 1997-1998 areal tersebut adalah lahan tidur yang tak terurus. Mengingat sebagian besar masyarakat adalah petani tak bertanah yang tergolong miskin, maka mereka memberanikan diri untuk mengelola lahan tidur itu demi meningkatkan taraf hidup. Dan kini, taraf kehidupan kaum tani relatif membaik daripada sebelumnya.

Kini mereka terancam. Semuanya karena surat edaran dari PTPN IX [Persero] bernomor Ngo/X/67/2009 itu.

Continue reading